Halaman

Om Swastyastu,

Semoga artikel dibawah ini bisa membantu menambah ilmu dan pengetahuan saudara.

Selasa, 25 Januari 2011

TRADISI OMED-OMEDAN

             Tradisi omed-omedan adalah tradisi kuno di bali sejak tahun 1900-an dan sampai sekarang masih rutin dilaksanakan pada hari Ngembak Geni (sehari setelah hari raya Nyepi). Warga setempat mempunyai keyakinan bahwa tradisi ini merupakan tontonan untuk Ida Bhatara/Dewata, sehingga pelaksanaannya dapat mendatangkan berkah dan apabila tidak dilaksanakan dalam kurun waktu setahun maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan..  Jika di artikan dalam bahasa Indonesia kata omed-omedan berarti tarik menarik, tradisi med-medan berawal dari jaman kerajaan di bali, dikisahkan Saat itu, masyarakat Puri Oka, sebuah kerajaan kecil di Denpasar selatan, menggelar permainan omed-omedan alias saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dan pemudi. Saking serunya, acara tarik-menarik itu berubah menjadi acara saling merangkul dan situasi berubah gaduh karenanya. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar.Dengan terhuyung-huyung beliau keluar hendak menghardik warganya. Namun, begitu melihat adegan itu, tiba-tiba sakit Sang Raja mendadak sirna dan ia pun sehat seperti sediakala. Raja lalu mengeluarkan titah agar omed-omedan dilaksanakan tiap tahunnya. Begitu diselenggarakan lagi, giliran Pemerintah Kolonial Belanda yang terusik melihat upacara itu. Belanda melarang ritual itu, namun warga yang taat tidak menghiraukan larangan itu. Acara ciuman massal itu pun berlangsung.

            Tidak semua masyarakat Bali, bahkan masyarakat Sesetan Kaja sendiri, menyukai tradisi ini. Pernah pada 1970-an para sesepuh banjar memutuskan agar acara ini ditiadakan. Namun, tak lama berselang, di pelataran Pura Desa terjadi perkelahian yang amat seru dua ekor babi, setelah kedua babi tersebut terluka parah dan keduanya menghilang begitu saja. Akhirnya dari berbagai sumber dapat diketahui bahwa hal itu terjadi karena dihentikannya tradisi Omed-omedan tersebut. Dan akhirnya sampai sekarang tradisi ini masih dijaga oleh warga Banjar Sesetan.

            Peserta omed-omedan adalah sekaa teruna-teruni atau pemuda-pemudi mulai dari umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa namun belum menikah. Sebelum tradisi omed-omedan berlangsung peserta melakukan prosesi persembahyangan di Pura Desa setempat. Tradisi ini dilaksanakan di sepanjang jalan raya Banjar Sesetan dan diikuti oleh kelompok muda-mudi Banjar setempat. Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu kelompok putra dan putri, setiap kelompok beranggotakan sekitar 50 orang.
            Histeria ciuman dalam tradisi "Omed Omedan" khas Banjar Kaja, Desa Adat Sesetan, Kota Denpasar, Bali, disambut riuh oleh ribuan masyarakat sekitar bersama wisatawan asing maupun domestic.
"Omed Omedan" yang dilaksanakan sehari setelah Hari Raya Nyepi, Rabu petang, menjadi ajang yang dinantikan para lajang Banjar Kaja dan atraksi yang merupakan bagian dari ritual dusun tersebut, tak terdapat di wilayah lain di Bali.
Saat itu para pemuda dan pemudi yang masih lajang dan telah diseleksi panitia, secara acak kemudian  melakukan adegan berpelukan dan berciuman dengan dilihat ribuan orang.
Di depan penonton, termasuk undangan kehormatan Wali Kota Denpasar bersama pejabat lainnya, seorang wanita peserta Omed Omedan yang mendapat giliran, dipanggul ramai-ramai dari salah satu sisi di tengah Jalan Raya Sesetan, Denpasar.
Kemudian dari arah berlawanan, juga dipanggul seorang pria peserta, hingga keduanya bertemu dan saling berangkulan, berpelukan dan berciuman.
Saat mengetahui calon "pasangannya" bukan orang yang dikehendaki itulah kemudian si wanita ataupun pria, spontan teriak histeris dan mulai mempersiapkan "kuda-kuda" dengan membungkuk agar sulit dicium dan terhindar dari ciuman bibir.
Demi memisahkan "pergulatan" keduanya dalam tradisi yang unik itu, panitia kemudian menyiram dengan air menggunakan ember maupun semprotan.
Tradisi ini memiliki manfaat yang positif. Disamping melestarikan nilai-nilai tradisi juga dapat mempererat tali persaudaraan antar warga Banjar Sesetan. Dan tidak sedikit pula muda-mudi setempat mendapatkan jodoh setelah mengikuti ritual ini.

Senin, 10 Januari 2011

Tradisi Ngejot Banten Kumara

   Rangkaian Pelaksanaan Tradisi Ngejot Banten Kumara
Sebelum membahas tentang rangkaian pelaksanaan tradisi ngejot banten kumara penulis akan memaparkan sekilas tentang makna pelaksanaan ngejot banten kumara, banten kumara berasal dari dua kata banten dan kumara, banten yang berarti “persembahan /sesajen dalam upacara agama”, sedangkan kumara adalah Dewa penjaga anak-anak, anak alit. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan banten kumara adalah persembahan  yang ditujukan pada Dewa Kumara, Dewa yang menjaga anak-anak. Kaitannya dengan ngejot/pemberian pada bayi (sebelum tiga bulan) mempunyai makna ikut serta mendoakan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa agar anak yang lahir ke dunia berumur panjang dan tumbuh dengan sempurna baik jasmani dan rohani, Pujastawan (wawancara,5 Mei 2010).
Terlaksananya ngejot banten kumara tidak terpisah dari upacara Manusa Yadnya yang merupakan korban suci untuk membersihkan dan memelihara hidup seseorang. Kehidupan adalah salah satu anugrah  Tuhan yang utama, karena hidup berarti berkarma (bekerja). Dalam hidup ini berkarma merupakan suatu kesempatan untuk memperbaiki kesalahan serta kekurangannya atau karma dalam hidup yang lampau dan akhirnya dapat mencapai kesempurnaan. Ngejot banten kumara yang didasarkan atas pemberian yang tulus ikhlas adalah dipandang sebagai kewajiban hidup utuk menambah karma yang baik. Hal ini sesuai dangan apa yang dijelaskan tentang guna yadnya dalam Bhisma Parwa sabagai berikut :



Apan ikang sarwa karma kabeh,
hāntas Kertha tikapning yadnya ngaranya

Terjemahan:

Seluruh perbuatan di dalam hidup ini,
akan terlebur seluruhnya oleh yadnya.(Lontar Bhisma Parwa, lamp.7).


Kutipan ini mengandung arti pula, betapa penting/utamanya yandnya didalam hidup ini. Sebagai umat Hindu yang menjalankan ajaran-ajaran agama dengan bertattwa, beretika, serta dengan ritual, timbul pengelompokan yadnya atas lima bagian yang disebut Panca Yadnya. Pelaksanaan yadnya di dalam kehidupan umat Hindu dilaksanakan dengan dua cara yaitu :
-          Dilaksanakan/dikerjakan pada setiap hari (nitya karma) misalnya seperti : ngejot nasi (saiban), Tri Sandya, hormat pada orang tua (putra sesana) dan sebagaiya.
-          Dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu (naimitika karma) misalnya  seperti : Hari Raya Galungan, Kuningan, Pagerwesi Mepandes/mesangih, mecaru, ngaben, sebagainya.,
Terkait pula, sesuai kepercayaan dan keyakinan dalam ajaran agama Hindu, diseluruh alam serta isinya adalah ciptaan Tuhan, hingga hidup ini tidak lepas dari hubungan kita kepada Ida Sang Hyang Widhi, tempat kita/alam, serta sesama makhluk hidup terutama manusia.
Dengan demikian ngejot banten kumara adalah merupakan perwujudan tata etika yang luhur (Tri Kaya Parisudha), dalam kesadaran kita sebagai manusia, diciptakan bersama oleh tuhan. Dari pemaparan diatas jelas makna pelaksanaan ngejot banten kumara yaitu ikut memohonkan keselamatan bagi bayi yang lahir kedunia serta ikut merasakan kebahagiaan dari keluarga sibayi.
Tradisi ngejot banten kumara dilaksanakan oleh warga Banjar Blungbang, Banjar Blungbang yang merupakan masih bagian dari Kelurahan Kawan membuat tradisi ini juga dikenal di Banjar-banjar lain disampingnya ,Suryana (wawancara, 5 Mei 2010).
Mengenai sejarah dan kapan mulai dilaksanakannya tradisi nejot banten kumara di Banjar Blungbang, belum ada yang mengetahuinya, ini dikarenakan tidak adanya sumber yang jelas yang menunjukkan kapan mulainya dilaksanakan tradisi ngejot banten kumara ini, menurut informan yang dapat dipercaya dan diperoleh dari hasil wawancara (Pujastawan wawancara, 5 Mei 2010) dijelaskan bahwa masyarakat Banjar Blungbang percaya dengan melaksanakan tradisi ini anak yang diupacarai akan mudah bergaul kelak jika sudah tumbuh dewasa nanti, masyarakat masih sangat percaya dan sangat antusias dalam melaksanakan tradisi ngejot banten kumara, sebagai sebuah tradisi yang harus dilestarikan demi menjaga kesatuan dan persatuan atar warga masyarakat Banjar Blungbang. Mengenai rangkaian tradisi ngejot banten kumara ini akan dibedah mengunakan teori Fungsional struktural dan teori simbol. dimulai dari : (1) persiapan ngejot banten kumara, (2) waktu pelaksanaan, (3) proses upacara natab banten kumar

   Persiapan Tradisi Ngejot Banten Kumara
Persiapan ngejot banten kumara di Bajar Blungbang, Kelurahan  Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, dilaksanakan oleh kedua belah pihak yaitu dari pihak yang memberi atau ngejot dan dari pihak penerima jotan. Seperti tradisi-tradisi pada umumnya yang ada di Bali mengandung unsur upacara yang memerlukan persiapan atau bahan-bahan yang akan digunakan seperti daun janur, bunga-bunga, buah-buahan, dan tempat bantennya. Semua persiapan ini dipersiapkan oleh warga yang membiri jotan maupun yang menerima jotan, yang akan dipergunakan sebagai banten kumara. Selai mempersiapkan banten sebagai tambahan dari banten yang diterima dalam upacara natab banten kmara itu, dari pihak penerima juga akan mempersiapkan jamuan untuk warga yang memberi jotan berupa jajanan dan minuman, Rupadana (wawancar, 5 Mei 2010).
Pihak yang akan memberi jotan banten kumara akan mempersiapkan banten kumara yang terdiri dari :
1.      Tumpeng putih
2.      Raka-raka
3.      Kojong pabuan
4.      Sampian tumpeng
5.      Banten rayunan ajuman
6.      Canang lengawangi-buratwangi
7.      Canang sari

Tumpeng putih
Tumpeng putih merupakan salah satu isi dari banten kumara di Banjar Bungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, yang dibuat dari beras putih yang sedah dimasak setengah matang kemudian dibentuk kerucut dengan menggunakan daun pisang sebagai cetakan dari tumpeng tersebut dengan cara ditekan-tekan hingga mengeras dan mau berbentuk kerucur. tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan.

Raka-raka
Raka-raka merupakan salah satu isi dari banten kumara, yang dimaksud dengan raka-raka tersebut ialah jajan kekiping, jajan uli, satuh dan lain sebagainya serta buah-buahan. Jajan kekiping dalam pembuatan banten kumara maupun banten-banten yang lain di Banjar Blungbang merupakan salah satu raka-raka yang diwajibkan untuk di isi karena merupakan salah satu jaja tradisional Bali yang perlu dilestarikan. Buah yang diharuskan ada atau diisi dalam pembuatan banten kumara ini adalah buah pisang yaitu buah biu mas (pisang mas) dan tebu. Raka-raka melambangkan Hyang Widyadhara-Widyadhari, buah biu mas (pisang mas) ini melambangkan Mahadewa, secara umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara, sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma., sedangkan buah-buahan yang lainnya seperti apel, salak atau jeruk merupakan pelengkap dari banten tersebut.

Kojong Pabuan
Kojong pabuan (tempat lauk pauk) memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani). Kojong pabuan terdiri dari lima kojong yang dirangkai menjadi satu untuk meletakkan lauk pauk. Lauk pauk yang diisi dalam kojong pabuan tersebut adalah, kacang komak, pelas, kecai, terong, cicang, telur dadar, ikan teri, saur, garam, dan sate galungan. Sate galungan terdiri dari sate lembat, sate empol, sate jepit babi, sate kuwung, sate gunting, sate asem.
Sampian Tumpeng
Sampian tumpeng merupakan merupakan salah satu dari banyak jenis sampian yang dikenal di Bali, sampian tumpeng adalah hiasan banten yang dibuat dari daun janur muda yang sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga terlihat menarik. Sampian tumpeng hampir sama dengan sampian pusung hanya sampian tumpeng ditambauhkan dengan lenter kemudian agar lebih memperindah ditambahkan dengan berbagai bunga-bunga.

Banten rayunan ajuman
Banten rayunan ajuman bisa juga digunankan pada upacara-upacara yang lain dalam upacara panca yadnya. Banten rayunan ajuman bisa dipergunakan pada Hari Raya Galungan, Kuningan, Hari Raya Saraswati dan hari-hari rerainan lainnya seperti Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon. Banten rayunan ajuman merupakan banten yang sudah umum dipakai persembahan oleh umat yang beragama hindu di Banjar Blungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.
Banten ajuman sebagai alasnya adalah tamas. Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Banten ajuman terdiri dari dua bagian atau tingkat, tingkat pertama beralaskan tamas yang didalamnya diisi dengan 2 (dau) pangkonan, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis, pangkonan adalah nasi yang ditakar yang menyerupai bulatan yang agak pipih , selain pangkonan diisi dengan kacang komak dan saur yang dialasi dengan tangkih. Tangkih adalah daun janur yang dirangkai sedemikian rupa sehingga berbentuk segi tiga.
Tingkatan kedua atau tamas yang ke dua berisi penek. Penek adalah nasi yang dibuat menyerupai tumpeng tetapi berukuran kecil, selain penek diisi juga dengan rake-rake seperti buah berupa pisang, jeruk, apel, dan buah-buahan lain, diisi juga dengan jajan seperti jajan begino, uli, kekiping dan lain-lian, ditambah dengan kacang-kacangan yang ditempatkan dalam sebuar tangkih sedapat mungkin berwarna merah, putih, hijau, dalam kacang-kacangan tersebut berisi garam, saur, dan ikan atau sedikit daging. Diatas upakara tersebut diisi dengan sebuah canang plaus yang lengkap dengan porosan yang lengkap pula, porosan terbuat dari daun janur yang dipotong berbentuk jajaran genjang yang berisi daun kakap/base (daun sirih) dilengkapi dengan pamor. Canang plaus dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. Kedua bagian upakara yang beralaskan tamas tersebut ditumpuk menjadi satu.

Canang lengawangi-buratwangi
Burat wangi dibuat dari beras putih dan kuning yang dihaluskan dicampur dengan air cendana atau mejegau. Ada kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lenga Wangi ( minyak wangi) yang berwarna putih dibuat dari menyan, 'malem" ( sejenis lemak pada sarang lebah), dicampur dengan minyak kelapa. Lenga wangi (minyak wangi) yang berwarna kehitam-hitaman dibuat dari minyak kelapa dicampur dengan kacang putih, komak yang digoreng sampai gosong lalu dihaluskan. Ada kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas), yang juga digoreng sampai gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran yang baik, terlebih dahulu minyak kelapa dipanaskan, kemudian barulah dicampur dengan perlengkapan lainnya, perlengkapan tersebut masing-masing dialasi kojong atau tangkih. Secara keseluruhan "lenga-wangi" dan "burat-wangi" melambangkan Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang Siva, Majegau melambangkan Hyang Sadasiva sedang cendana melambangkan Hyang Paramasiva. Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya Saraswati dan melengkapi sesajen-sesajen yang lebih besar.

Canang sari
Bentuk canang ini agak berbeda dengan canang pada umumnya yaitu dibagi menjadi dua bagian. Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun segi empat seperti ceper atau taledan. Sering pula diberi hiasan "Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa, porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras), biu mas atau yang sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih. Dapat pula ditambah dengan burat wangi dan lenga wangi seperti pada canang burat wangi. Di atasnya barulah diisi bermacam-macam bunga diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah "uras sari/sampian uras". Canang sari dilengkapi dengan sesari berupa uang kertas, uang logam maupun uang kepeng.
Semua sesajen yang disebutkan diatas diletakkan diatas sebuah taledan yang dibuat dari daun janur muda yang dibentuk segi empat dan dikemas dalam satu wadah berupa lumpian/kepe ada pula yang memakai keben/sokasi atau dapat juga memakai bokor, banten inilah yang akan dijotkan pada orang yang menerima jotan banten kumara ,Sutri( wawancara,7 Mei 2010).

Sedangkan dari pihak yang menerima jotan juga mempersiapkan banten sebagai tambahan dari jotan banten kumara yang akan diterima dari warga yang ngejot, banten yang perlu disiapkan yang terdiri dari :
1.      Jerimpen
2.      Tataban Asoroh
Jerimpen
            Jerimpen merupakan salah satu jenis banten yang sudah lumrah di Bali tetapi bentuk tetandingannya berbeda-beda sesuai dengan Desa Kala Patra setempat. Jerimpen yang yang dipergunakan pada tradisi ngejot banten kumara ini dapat dijelaskan sebagai berikut, pada bagian bawah sebagai alas dari jerimpen itu mempergunakan wakul, wakul adalah anyaman dari bambu yang dibuat menyerupai ember kecil yang tingginya kira-kira 25 cm, di dalam wakul diisi dangan beras putih, nyuh mekerik (kelapa yang kulitnya sudah bersih), tampak liman (janur yang dijarit berbentuk tanda tambah), base tampel, base tampel yaitu base (daun sirih) yang diisi dengan pamor, buah (buah pinang). Badan dari jerimpen memakai anyaman bambu yang dibentuk melingkar disebut dengan sumbu, sumbu ini dipasang pada wakul dan di hiasi dengan jajan-jajan yaitu jaje bekayu, jaje bagino putih, jaje bagino merah. Setela itu diatasnya berisi sampian jerimpen dengan lenter panjang kebawah hingga panjangnya sampai pada jajan paling bawah dihiasi juga dengan hiasan bunga-bunga.

Tataban asoroh
            Tataban asoroh merupakan banten yang dipersiapkan oleh keluarga dari pihak yang menerima jotan banten kumara, disamping mempersiapkan jerimpen juga mempersiapkan tataban asoroh. Tataban asoroh ini terdiri dari beberapa bagian banten yaitu : (1) Pejati/daksina, (2) Banten Suci, (3) Kelanan Dampulan, (4) Banten Rayunan Ajuman, (5) Canang Raka, (6) Peras Penyeneng, (7) Sayut Pengambean, (8) Basokan, (9) Segehan, (10) Pebuat, (11) pesucian. Bagian-bagian banten dari tataban asoroh ini akan diuraikan sebagai berikut :

1.      Pejati/daksin
Pejati atau yang disebut daksina merupakan banten yang sudah lumrah dikenal oleh masyarakat yang memeluk agama Hindu, banten pejati yang dikenal di bali juga memiliki bentuk atau susunan tetandingan yang erbeda-beda menurut Desa Kala Patra. Banten pejati yang dikenal di Banjar Bungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaeten Bangli sebagai berikut, banten ini wadah atau alasnya terbuat dari daun kelapa yang sudah tua berwarna hijau, dibuat melingakar menyerupai ember kecil yang biasa disebut dengan kulit pejati. Kulit pejati terdiri dari dua bagian yang pertama adalah Alas pejati/ bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya . Alas pejati ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas. Bagian yang ke dua yaitu srobong pejati/ Bedogan/ srembeng/wakul/katung  terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas pejati/alas wakul. serobong pejati bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi.
Kulit pejati ini didalamnya berisi beras putih lambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini.  Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva), satu butir kelapa mekerik (kelapa yang sudah dihilangkan serabutnya) simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta, tampak liman ( janur yang dibentuk tanda tambah) dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah, tampak liman adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos, Benang Tukelan, benang tukekaln adalah simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
Kulit pejati ini juga ditambah dengan kojong yang berjumlah lima kojong, yang di dalam masing-masing kojong tersebut diisi dengan upakara-upakara yaitu pada kojong pertama diisi dengan telur bebek adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. Kojong ke dua diisi dengan buah (buah pinang). Kojong ke tiga diisi base tampel dan pis bolong (uang kepeng) base tampel terbuat dari daun sirih, pamor (kapur) dan pinang dijarit sedemikian rupa sehingga menjadi satu, base tampel adalah lambang pemujaan, pis bolong atau uang kepeng adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. Kojong ke empat diisi dengan biu buah (pisang buah) dan biu mas (pisang mas). Kojong ke lima diisi dengan pajeratus. Pajeratus ini terdiri dari beras putih, injin (beras merah), beras ketan, jagung, jali-jali, kacang komak, kacang merah, dan dibungkus dengan daun keraras (daun pisang yang sudah kering), diatas pejati diisi dengan canang biasanya dilengkapi dengan sesari.

2.      Banten Suci
Banten suci terdiri dari emam tumpuk atau enam tingkat, tinkat pertama atau paling bawah beralaskan tamas yang didalamnya berisi biu mas (pisang mas), tape (tape ketan yang dibungkus daun nangka), jajan kukus ketan, jajan kukus injin, jajan kekiping mentah, jajan kekiping biu (kekiping pisang), jajan bagino, beras putih, panca, panca ini adalah buah-buahan berupa buah cermai, buah salak, buah sotong/jambu biji, buah nangka, poh/mangga yang diletakkan diatas tangkih. Kemudian banten suci juga berisi jajan yang disebut dengan jaje suci. Jaje suci ini terdiri dari dua warna jajan yaitu putih dan kuning, jajan suci atau jaje suci putih terdiri dari jaje kuluban putih berbentuk bulat, jaje kupa putih seperti kerang , jaje pecuk telu putih berbentuk segi tiga, jaje bungan waru putih bentuknya seperti bunga celeng, jaje ratu magelung putih bentuknya seperti daun paku muda (pakis muda), jaje klongkang putih, jaje tulus putih bentuknya seperti daun, jaje bungan temu putih tentuknya seperti bunga. Sedangkan jaje yang berwarna kuning terdiri dari jaje pecuk pat kuning bentuknya seperti segi empat, jaje ipit kuning bentuknya seperti kerang tiram, jaje nyamu rakta kuning bentuknya seperti jambu air, jaje padma kuning bentuknya seperti menyerunai hurup A, jaje kemimitan kuning bentuknya seperti daun dengan reringiant diluarnya, jaje bungan temu kuning bentuknya seperti bunga. Diatas banten ini diisi canang suci dalam canang suci terdiri dari dua bagian bagian pertama dari canang suci terdiri dari iluk-iluk dan 20 porosan, bagian kedua terdiri dari iluk-iluk dan 5 porosan.
Bagian tumpuk ke dua atau tingkat ke dua dan bagian tumpuk ke tiga  juga beralas dengan tamas dan isi dari tumpuk ke dua dan ke tiga sama dengan isi dari tumpuk yang pertama
Tumpuk yang ke empat juga beralaskan tamas yang berisi dengan biu mas (pisang mas), isen satu tangkih, jebug arum satu tangkih, kacang merah dan kacang komak matang satu tangkih, kacang merah dan kacang komak mentah satu tangkih, keladi ubi mateng satu tangkih, kladi ubi mentah satu tangkih. Dalam banten tumpuk ke empat ini juga ditambahkan dengan takir-takir yang berisi kelapa, madu, 3 nasi pulungan, diatasnya ditutupi dengan base duma (daun sirih) sebanyak 5 lembar yang diolesi dengan cendana yang sudah dicairkan, setelah itu diatasnya ditambah lagi dengan pesucian yang isinya berupa kelapa parut, tepung beras kuning, lengis banten/ minyak harum, sepotong lemo, sigsigan (yaitu jajan bagino yang dibakar hingga gosong), setelah itu ditambah canang pesucian yang berisi base, buah (buah pinang), bunga dan diletakkan pada satu buah iluk-iluk.
Tumpuk ke lima atau tingkat ke lima beralas dengan tamas yang di dalamnya terdiri dari telor bebek rebus, kacang komak satu tangkih, saur satu tangkih, garam satu tangkih, kacang panjang mentah satu tangkih, kacang kara satu tangkih, kekiping, kecai, terong, paye.
Tumpuk yang terahir atau ke enam beralaskan dengan tamas dan isinya juga merupakan yang paling sederhana dari tumpukan-tumpukan dibawahnya yaitu penek (nasi yang dibentuk kerucut kecil) sebanyak empat buah, pangkonan satu buah dan ditambah dengan canang sari satu tanding, ke enam tumpuk tetandingan banten tersebut setelah itu diikat menjadi satu dengan tali yang dibuat dari bambu.

3.      Kelanan Dampulan
            Kelanan dampulan adalah tipat nasi dan tipat dampulan, kelanan adalah tipat nasi yang berjumlah 6 (enam) buah yang disebut dengan akelan, sedangkan dampulan adalah tipat dampulan yang berjmlah 2 (dua) buah, maka kedua tipat/ketupat ini disebut kelanan dampulan yang dibuat dari janur yang dianyam menjadi ketupat dan diisi dengan beras lalu direbus hingga matang, tipat/ketupat dampulan sedikit berdeda dengan tipat/ketupat nasi yang mempergunakan satu janur dalam pembuatan persatu buah ketupatnya, tipat/ketupat dampulan memakai dua lembar janur yang saling dikaitkan dan dianyam sedemikian rupa sehingga menjadi ketupat.

4.      Banten Rayunan Ajuman
            Banten rayunan ajuman merupakan banten yang sudah umum dipakai persembahan oleh umat yang beragama hindu, tetapi bentuk banten dan nama banten rayunan ajuman berbeda-beda menurut Desa Kala Patra pada masing-masing daerah, begetu juga di Banjar Blungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.
Banten rayunan ajuman di Banjar Lungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli mempergunakan tamas sebagai alasnya. Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Banten ajuman terdiri dari dua bagian atau tingkat, tingkat pertama beralaskan tamas yang didalamnya diisi dengan 2 (dau) pangkonan, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis, pangkonan adalah nasi yang ditakar yang menyerupai bulatan yang agak pipih , selain pangkonan diisi dengan kacang komak, saur, yang dialasi dengan tangkih. Tangkih adalah daun janur yang dirangkai sedemikian rupa sehingga berbentuk segi tiga.
Tingkatan kedua atau tamas yang ke dua berisi penek. Penek adalah nasi yang dibuat menyerupai tumpeng tetapi berukuran kecil, selain penek di isi juga dengan rake-rake buah-buahan berupa pisang, jeruk, apel, dan buah-buahan lain, diisi juga dengan jajanan seperti jajan begino, uli, kekiping dan lain-lian, ditambah dengan kacang-kacangan yang ditempatkan dalam sebuar tangkih sedapat mungkin berwarna merah, putih, hijau, dalam kacang-kacangan tersebut berisi garam, saur, dan ikan atau sedikit daging. Diatas upakara tersebut di isi dengan sebuah canang plaus yang dilengkap dengan porosan, porosan terbuat dari daun janur yang dipotong berbentuk jajaran genjang yang berisi daun kakap/base (daun sirih) dilengkapi dengan pamor. Canang plaus dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. Kedua bagian upakara yang beralaskan tamas tersebut ditumpuk menjadi satu.

5.      Canang Raka
Canang Raka merupakan banten pelengkap dari banten tataban asoroh, yang membentuk canang raka yaitu tamas sebagai alas atau wadahnya, di dalam tamas di isi dengan raka-raka yang berupa jajanan seperti jajan bagino, kekiping, satuh, uli, dan lain sebagainya, disamping itu juga di isi juga dengan raka-raka yang berupa buah-buahan seprti biu (pisang), apel, salak, jeruk dan lain sebagainya, kemudian diatasnya ditambahkan dengan canang sari.

6.      Peras penyeneng
Peras Penyeneng adalah banten yang dibentuk dari tiga tanding banten yang dijadikan satu yaitu peras dan penyeneng di dalam penyeneng ditambah dengan pengambean. Peras dialasi dengan tamas didalamnya berisi 3 (tga) kulit peras, beras putih, base tampel 1 (satu), benang, kacang komak 2(dua) tangkih, tumpeng putih 2(dau) jajan bagino, kekiping, biu (pisang), dan buah-buahan, dan diatasnya berisi sampian pusung 2(dua). Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Kulit peras, base tampel, beras, benang; merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. Sedangkan Penyenengnya terdiri dari tamas sebagai alas/wadahnya didalamnya di isi dengan 2(dua) buah tumpeng, kacang komak 2(dua) tangkih, dan ditambah dengan satu tanding pengambean. Pengambean dialasi dengan tamas yang di isi 2(dua) buah tumpeng, kacang komak 2(dua) tangkih, jajan, biu (pisang), dan buah-buahan,2 (dua) buah tulung panake, tipat pengambean, sampian pusung dan tulung inane 2 (dua) buah, tulung inane berisi dengan nasi dan kacang. Ketiga banten ini  diikat menjadi satu disebut dengan peras penyeneng.

7.      Sayut Penganbean
            Sayut pengambean terdiri dari linggih, kulit sayut, blayag pesor, dan pengambean. Linggih terdiri dari biu (pisang) empat buah, tape keten empat biji. Jajan empat macam, ditambah kacang komak empat tangkih, pangkonan empat, ditambah dengan canang sari, sedangkan kulit sayutnya berisi nasi, kacang komak, jajan, pisang, dan sampian naga sari, dikemas menjadi satu tamas, sedangkan blayag pesornya terdiri dari kacang komak, jajan, pisang, sampian kepelan, dan pengambeannya terdiri dari tamas sebagai alasnya yang di isi 2(dua) buah tumpeng, kacang komak 2(dua) tangkih, jajan, biu (pisang), dan buah-buahan,2 (dua) buah tulung panake, tipat pengambean, sampian pusung dan tulung inane 2 (dua) buah, tulung inane berisi dengan nasi dan kacang.

8.      Basokan
            Basokan terdiri dari buah (buah pinang), satu butir nyuh mekoping (kelapa yang serabutnya masih disisakan sedikit), beras putih, base tampel, tetek ngandel, base-base (bumbu dapur), 1 (satu) bungkus yang dibungkus dengan dan pisang, nasi putih satu kaput kecil (bungkus) dengan daun pisang, kacang satu tangkih, pleting (linting yang terbuat dari benang yang dililitkan pada lidi), tutup sambuk (terbuat dari serabut kelapa yang dipotong bundar kecil di tancapi dengan lidi/bambu kecil yang sudah diraut). Semua itu di masukan dalam satu tempat berupa tamas besar.

9.      Segehan
Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan. Segehan terdiri dari beberapa upakara seperti nasi 5 (lima) tangkih, Jahe, secara imiah memiliki sifat panas, semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional, bawang, yang memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek), garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin), diatasnya ditambah dengan iluk-iluk berisi dengan beras putih dan ditambah dengan tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati. Segehan biasanya dialasi dengan daun pisang.

10.  Pebuat
Pebuat beralaskan dari tamas yang di dalamnya berisi dengan beras putih, benang, uang bolong satakan (uang kepeng sebanyak dua ratus kepeng), beras benang dan uang, lambang dari Dewa Visnu yang memelihara alam semesta ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi untuk melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan dengan Hyang Widhi.ditambah dengan base tampel, sesarik (dibuat dari daun sirih bunga kumitir yang di potong-potong), tepung tawar (tepung tawar dibuat dari daun dadap ditambah dengan beras dan kunyit yang ditumbuk jadi satu), melambangkan Dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma.

11.  Pesucian
            Pada intinya pesucian merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan, Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau. Sebuah ceper  yang berisi 5 (lima) kojong atau tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi: Bedak warna kuning (dari tepung berwarna kuning), Ambuh (kelapa diparut/ daun kembang sepatu dirajang), sisig (jajan bagino yang dibakar hingga gosong), asem (jeruk lemo), kapas berisi minyak wangi. Diatasnya di isi canang eluk-eluk terbuat dari janur ditambah bunga putih kuning.
Semua bagian-bagian yang dijelaskan diatas ini dijadikan satu dengan disusun rapi ditempatkan pada sebuah wadah berupa sebuah nyiru/kapar. Setelah upacara natab, basokan dan segehan diletakkan di bawah (lantai) Inila yang disebut dengan banten tataban asoroh oleh masyarakat Banjar Blungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Rage dan Jati (wawancara 7 Mei 2010).


Waktu Pelaksanaan
Dresta atau kebiasaan ngejot banten kumara di Banjar Blungbang biasa dilaksanakan pada hari raya Penampahan Galungan dan proses natab banten kumaranya dilaksanakan pada hari raya Galungan, dimana ngejot banten kumara ini dilaksanakan pada saat warga masyarakat selesai melakukan kegiatan pada saat hari Penampahan Galungan seperti mebat (masak), dan selesai memasang pedapa (perlengkapan pada sanggah/merajan). Pada waktu sore hari setelah warga selesai mempersiapkan banten untuk ngejot banten kumara selesai maka barulah ke rumah keluarga yang pada saat itu punya anak bayi yang biasanya merupakan anak pertama yang belum berumur tiga bulan, dikarenakan bayi yang belum berumur tiga bulan dianggap belum mengenal lingkungan alam sekitarnya, sehingga pada saat itu masyarakat, keluarga, saudara satu dadia datang mengunjungi ke rumah keluarga yang mempunyai bayi dengan membawa banten kumara sebagai sarana jotan. Sedangkan kalau bayi yang sudah berumur tiga bulan sudah dianggap mengenal lingkungan sekitarnya, terbukti pada waktu upacara tiga bulanan bayi atau anak tersebut mulai menginjakkan kakinya pada Ibu Pertiwi. Demikian juga dengan tradisi ngejot banten kumara ini yang proses natab banten kumaranya dilakukan saat hari raya Galungan dikarenakan pada saat Galungan dipercaya para leluhur/orang tua datang ke rumah menyaksikan upacara natab banten kumara.
Ngejot banten kumara tersebut biasanya dilaksanakan oleh warga yang akan ngejot, pada waktu sore hari antara jam 4 sore sampai jam 6 sore, dengan menggunakan pakian adat madya, orang yang membawa jotan tersebut bisa laki-laki atau perempuan khusus bagi warga yang memiliki anak yang masih kecil atau balita maka akan datang dengan membawa anak-anaknya, terkadang juga ada anak-anak remaja yang mewakili keluarganya membawakan jotan banten kumara.   Dari pengamatan penulis terhadap keluarga yang menerima jotan banten kumara, setiap keluarga yang menerima jotan akan mengumpulkan  jotan banten-benten kumara tersebut antara 60 - 90 tanding bahkan bisa lebih dari itu. Setelah waktu menunjukkan jam 6.00 wita maka keluarga yang menerima jotan banten kumara akan menghentikan penerimaan jotan pada hari tersebut dekarenakan waktu sudah menunjukkan sandi kala (pertemuan waktu antara sore hari dan malam hari) yang dipercayai oleh masyarakat Banjar Blungbang merupaka waktu para Bhuta Kala dan mahluk-mahluk halus lainnya keluar.


Jika masih ada warga yang akan ngejot, maka warga tersebut akan ngejot pada keesokan harinya tepatnya pada hari raya Galungan pada waktu pagi hari sebelum upacara natab banten kumara tersebut dilaksanakan, sedangkan upacara natab banten kumara dilaksanakan sekitar jam 8 pagi sebelum menghaturkan  pujawali hari raya Galungan, Pujastawan (wawancara 5 Mei 2010).


 Proses upacara Natab Banten Kumar
Rangkaian upacara natab banten kumara yang dilaksanakan masyarakat Banjar Blungbang, pada bayi yang belum berusia tiga bulan sangat sederhana. Hal ini disebabkan , upacara ini bersifat kecil, dalam artian pada waktu upacara natab banten kumara hanya melibatkan keluarga. Disamping banten yang digunakan sangat sederhana yakni berfokus pada banten kumara. Maka upacara ini dapat digolongkan nista lain halnya dengan upacara yang bersifat utama dan melibatkan seluruh warga seperti piodalan di pura kahyangan tiga tentu rangkaiannya lebih banyak dan rumit. Pelaksanaan dalam natab banten kumara ini dilaksanakan pada waktu hari raya Galungan, dimana diawali dari persiapan angota keluarga dengan mempersiapkan babten-banten Galungan yang sudah disiapkan di masing-masing pelinggih untuk upacara Galungan, setelah itu para keluarga mempersiapkan banten-banten jotan yang diterima tersebut untuk di tatab oleh sibayi. Upacara natab dilakukan di Bale Dangin ( bangunan yang terlek sebelah timur)


 Upacara natab banten kumara biasanya dilaksanakan sekitar jam 8 pagi sebelum menghaturkan  pujawali hari raya Galungan,  yang muput/menghaturkan banten  kumara ini adalah orang yang dianggap paling tua dikeluarga tersebut, dengan menggunakan mantra ataupun sehe. Setelah upacara natab selesai dilanjutkan dengan menghaturkan upacara piodalan Galungan di sanggah/merajan, dan sibayi baru diperbolehkan memasuki sanggah/merajan untuk menghaturkan bakti (sembahyang). Setelah lewat kali tepet ( lewat tengah hari) atau lewat dari  jam 12.00 maka banten kumara jotan yang sudah ditatab tersebut disurud/nyurudin dengan ngeluarang satu tanding dari banten kumara yang telah ditatab tersebut di depan angkul-angkul rumah (pintu masuk pekarangan rumah). Maksud dari ngeluarang adalah memberikan bekal pada Sarwa Bhuta kala yang menjaga keseimbangan alam ini, Pujastawan (wawancara 5 Mei 2010).


 Fungsi Tradisi Nejot Banten Kumara
Setiap tradisi di Bali pada dasarnya memiliki suatu fungsi. Seprti yang terkandung dalam tradisi ngejot banten kumara di Banjar Blunglang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, dalam membedah rumusan masalah ini peneliti menggunakan teori Fungsional Struktural utuk membahas fungsi dari tradisi ngejot banten kumara, antara lain adalah fungsi Sosial dan fungsi Religius.

  Fungsi Sosial
Kebudayaan adalah cipta rasa dan karsa manusia yang diperoleh melalui proses belajar. Proses pembelajaran adalah salah satu faktor penting dalam pembinaan, pengembangan dan pelestarian budaya. Melalui pemahaman tentang Banten Kumara dan tradisi yang telah diwarisi oleh generasi terdahulu dan menjadi penuntun dalam melakukan pemujaan terhadap Dewa Kumara. Dalam kehidupan sekarang tradisi ngejot banten kumara dapat dijadikan sarana pendidikan, yang memberikan arah untuk meningkatkan apresiasi, kebanggaan dan budaya masyarakat. Di lain pihak diharapkan adanya tumbuh kembang kreatifitas budaya yang posistif bagi pengembangannya dan pengembangan budaya nasional, sehingga wawasan kebudayaan nusantara mempunyai ketahanan yang semakin kuat ditengah-tengah pergaulan yang kompleks masyarakat Indonesia (Sutaba dkk, 2002: 67).
Di samping itu kegiatan yang dilaksankan oleh masyarakat secara gotong royong dalam tradisi ngejot banten kumara yang dilandasi rasa kebersamaan, juga telah mendorong terjadinya proses transpormasi nilai pendidikan terutama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Banjar Blungbang.
Pelaksanaan tradisi ngejot banten kumara sarat tentang nilai pendidikan sosial seperti terlihat dalam saat ngejot banten kumara. Lebih-lebih dalam proses ngejot banten kumara yang dilakukan oleh masyarakat Banjar Blungbang, tidak bisa dikerjakan sendiri. Dalam proses ngejot tersebut masyarakat dididik untuk selalu bekerjasama untuk supaya terlaksananya proses trsebut dengan baik. Melalui proses ngejot banten kumara tersebut masyarakat dididik untuk memupuk rasa kekeluargaan, demi terwujudnya masyarakat yang harmonis, tentram dan damai. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa dalam tradisi ngejot banten kumara terdapat nilai-nilai yang bersifat positif sehingga dapat menimbulkan rasa kebersamaan antar warga dan bersama-sama untuk ikut mendoakan si bayi agar memperoleh perlindungan dari Dewa Kumara. Serta ikut merasakan kebahagiaan dari orang tua si bayi karena telah memiliki keturunan pertama yang tujuanya agar si anak di kemudian hari dapat memperoleh pergaulan yang luas, Suryana (wawancara, 5 Mei 2010).


 Fungsi Religius
            Pemahaman sifat Tuhan dari segi Religius, tentu saja lepas bisa lepas dari Tuhan dengan segala aspek dan hakekat yang melekat pada-Nya. Manusia sekalipun mahluk paling sempurna di antara semua mahluk yang mempunyai keterbatasan. Sedangkan Tuhan yang diakui tiada duanya mempunyai sifat tiada batasnya. Manusia hanya mampu mampu memberi nama sesuai dengan batas-batas kemampuan. Selain nama juga sifat-sifat ang beraneka ragam dilekatkan pada-Nya, Tuhan didalam Weda dinyatakan dengan Acintya melalui niasa (simbol) wujudnya dikhayalkan menurut fantasi manusia, oleh karena kerahasiaan Tuhan dikhayalkan dalam bentuk simbol, simbol ini berupa Arca, Pretima, Banten, Aksara, Suara, dan lain sebagainya. Demikian pula dalam halnya pada tradisi ngejot banten kumara penghayatan Tuhan diwujudkan dalam bentuk persembahan berupa banten kumara.
            Masyarakat Banjar Blungbang percaya dengan melakukan tradisi ngejot banten kumara, masyarakat ikut bersama-sama memohonkan perlindungan dan mengucapkan rasa terimakasi kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Kumara.

Nilai- Nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Tradisi Ngejot Banten Kumara
Agama Hindu pada dasarnya terdiri dari tiga bagian yang merupakan kerangka dasar agama Hindu yang dalam melaksanakan ajaran agamanya yaitu Filsafat (tatwa), Susila (Etika), dan Ritual (Upakara). Umat Hindu dalam melaksanakan ajaran agamanya sebagian besar dipengaruhi oleh Upakara. Seakan-akan susila tidak nampak. Dalam membahas rumurasan masalah ini peneliti menggunakan teori nilai dikarenakan dalam tradisi ngejot banten kumara terdapat suatu nilai-nilai yang terkandung didalamnya baik itu nilai Filsafat (Tatwa), Susila (Etika), seni (Estetika) dan Ritual (upakara), untuk lebih jelasnya akan dijelaskan nilai Tatwa, Etika, Estetika, dan Upakara yang terdapat dalam tradisi ngejot banten kumara.

Nilai Pendidikan Tatwa
            Berbicara mengenai pendidikan Tatwa dalam tradisi ngejot banten kumara akan diuraikan mengenai nilai itu sendiri. Dalam kamus besar bahasa indonesia dijelaskan bahwa nilai berarti sipat-sipat penting atau berguna bagi kemanusiaan misalnya nilai agama yang perlu diindahkan dalam kehidupan beragama (Poewardarminta, 1985 : 667). Sedangkan pengertian Tattwa adalah berasal dari bahasa sansakertha yaitu berasal dari kata “tat” yang berarti itu yang berarti Tattwa. Jadi Tattwa adalah suatu hakekat atau kebenaran.
            Ajaran Tattwa dalam agama Hindu bukanlah semata-mata untuk mencapai kebenaran saja namun dibalik itu adalah merupakan ajaran untuk menumbuhkan hakekat yang sedalam-dalamnya maka nilai Tattwa adalah suatu hal yang berguna bagi umat Hindu. Tradisi ngejot banten kumara di Banjar Blungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli merupakan suatu fakta yang dapat dibuktikan kebenaran dan keberadaannya dilihat dari kasat mata secara sosial religius masyarakat sebagai pelaksana tradisi ngejot banten kumara yang dilakukan kepada bayi yang belum berusia tiga bulan yang baru pertama kali melihat Hari Raya Galungan. Ajaran agama Hindu ditanamkan dalam berbagai cara antara lain: Melalui media Banten, pelaksanaan manusia yadnya dalam tradisi ngejot banten kumara dijadikan suatu media menanamkan Nilai pendidikan tattwa, dapat menuntun pikiran masyarakat Blungbang dalam kepercayaannya terhadap Dewa Kumara sebagai pelindung bayi, untuk memohon keselamatan dan agar si bayi diberikan berkah mudah bergaul kelak beranjak dewasa, dan ketika anggota masyarakat yang ngejot banten kumara membawa serta anaknya khususnya yang memiliki anak balita ( bayi berumur 5 tahun) untuk diperkenalkan. Secara tidak langsung dapat di ambil kesimpulan bahwa anak yang diupacarai memperoleh teman baru. Sebagai perlambang anak dapat bergaul di masyrakat nanti pada umumnya, Mantra (wawancara, 9 Mei 2010).

  Nilai Pendidikan Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani “ Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika berkaitan erat dengan moral yang merupakan istilah dari bahasa latin, yaitu “mos” dan dalam bentuk jamaknya “mores” yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang atau kelompok orang (Ruslan, 2001: 29). Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan moral ( Tim penyusun, 1994: 27). Etika adalah pengetahuan tentang kesusilaan, yang berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Dalam etika akan didapati ajaran tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk (Ngurah, 2005: 135).
Etika merupakan bentuk pengendalian diri yang mengikat manusia dalam aturan tingkah laku yang baik, sebab dengan bertingkah laku yang baik dan mampu mengendalikan diri sama halnya dengan mendidik orang-orang sekitar untuk berbuat baik pula. Ajaran tatasusila agama Hindu mengajarkan manusia dapat berkata-kata yang benar suci di sebut dengan wacika parisudha. Bahwa dengan kata-kata yang benar dan suci kita mendapatkan kebahagiaan, pentingnya perkataan yang suci itu (Wacika Parisudha) sehingga dapat menyenangkan atau membahagiakan sesama manusia, agar mengarah kepada perbuatan yang baik dan benar berdasarkan Dharma agar tercapai kebahagiaan dan kemuliaan. Selain manusia dapat berkata-kata dan berprilaku yang benar dan suci, maka manusia juga tak terlepas dari pikiran yang benar dan suci ( Manacika Parisudha) karena pikiran yang benar dan suci sangat berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia. Serta perbuatan yang baik (Kayika Parisuda). Dalam kaitannya dengan tradisi ngejot banten kumara adalah masyarakat Banjar Blungbang khususnya dididik untuk berfikir yang baik disaat melakukan proses ngejot banten kumara tersebut, berkata yang baik didalam bertuturkata dalam melaksanakan ngejot banten kumara tersebut, Dan saat gejot banten kumara masyarakat di ajarkan untuk bertindak atau berbuat yang baik.  Contohnya dalam prosesi upacara ngejot banten kumara tersebut seperti bersikap yang sopan dengan mengunakan pakaian adat madya, Putra (wawancara, 9 Mei 2010).


Nilai Pendidikan Estetika
Menguraikan tentang nilai estetika terlebih dahulu perlu diuraikan kata estetika. Estetika berasal dari kata Alisthesia (Bahasa Yunani) yang artinya tanggapan, pengawasan yaitu cabang filsafat yang menelaah yang membahas keindahan, baik rasa keindahan maupun sifat hakiki dari keindahan cara menguji dari keindahan tersebut dengan perasaan dan pikiran manusia, pengaruh lingkungan dan tradisi atau penilaian dan apresiasi keindahan sebagai suatu kata katagori yang terpisah dari logika dan estetika. Setiap manusia memiliki rasa keindahan terhadap sesuatu yang dipandangnya. Nilai keindahan tidak bisa disamakan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal ini disebabkan karena nilai keindahan tidak dapat dipaksakan untuk dinikmati, atau dirasakan terlebih tentang seni yang bersifat religius yang dapat memberi dorongan untuk menatap lebih dalam dan lebih jauh.
Estetika adalah kata lain dari seni dalam konsep estetika Hindu Bali khususnya terdapat dalam konsep Tri Wisesa yaitu : Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), dan Sundaram (keindahan). Oleh kerena dalam estetika Hindu yang dipentingkan adalah sebuah dialektika yang selalu menempatkan kebenaran itu suci dan indah, serta keindahan itu harus suci dan mengandung kebenaran. Nilai estetika juga berarti nilai pendidikan seni dan budaya. Unsur seni dalam tradisi ngejot anten kumara terlihat dalam pembuatan banten menggunakan hiasan janur yang diwujudkan dalam bentuk canang dan  reringgitan janur lain sebagainya, selain itu ketika proses ngejot berlangsung para penerima jotan serta para warga yang ngejot menggunakan pakian adat madya yang menjadi daya tarik tersendiri bagi orang yang melihatnya.


 Nilai Pendidikan Upacara
Upacara dalam agama Hindu memiliki dimensi yang luas, tidak semat-mata mengandung dimensi yang religious atau upacara berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata upa dan cara. Upa artinya dekat dan mendekat dan cara bersala dari urat kata “car” yang memiliki arti yang harmonis dan keselarasan dalam diri kita, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mendekat dalam upacara agama Hindu didasarkan pada yajña. Artinya mendekat itu dilakukan dengan hati yang tulus dan keiklasan mengabdi. Karena itu upacara yajña mendekatkan manusia dengan alam, sesama manusia, dan yang paling utama adalah mendekatkan diri dengan Tuhan (Wiana, 2002: 168).
Upacara yang merupakan rangkaian dari pelaksanaan yajna yang didalamnya ada upacara atau bebanten yang diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol merupakan wujud persembahan dan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Pelaksanaan upacara yajna saat ngejot banten kumara, mengandung nilai-nilai pendidikan upacara yang dilandasi oleh kesadaran atau ketulusan umat Hindu dalam mempersiapkan alat perlengkapan atau sarana ritualnya. Dilihat dari pelaksanaanya maka nilai pendidikan upacara yang terdapat dalam tradisi ngejot banten kumara, mulai dari persiapan pembuatan banten itu sendiri dan proses pelaksanaanya. Dari analisis yang telah dilakukan, masyarakat Banjar Blungbang selalu melaksanakan ngejot banten kumara. Hal ini di sebabkan adanya suatu kepercayaan bahwa melalui upacara yajna manusia dapat menghubungkan diri dengan Tuhan. Upacara juga diyakini sebagai penyebab kebahagiaan dan kesejahtraan hidup di dunia, melalui upacara manusia dapat melampiaskan emosi keagamaan untuk memperoleh kepuasan rohani.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai pendidikan upacara yang terdapat dalam tradisi ngejot banten kumara adalah mendidik masyarakat untuk tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersipat ritual, sebagai upaya mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upaya ini dilakukan sebagai wujud bakti dan penyampaian rasa terimakasih atas anugrah yang diberikan-Nya. Umat Hindu menyadari dan meyakini bahwa pelaksanaan suatau upacara atau ritual, merupakan salah satu jalan untuk mencapai moksa yaitu kebahagaiaan hidup dunia dan akhirat, (Parwati wawancara, 9 Mei 2010).